Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan Perikanan (KKP) bahkan telah menerapkan aturan pelarangan penggunaan botol plastik di lingkungan kementerian.
Di sisi lain, menurut data Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), saat ini terdapat 3,7 juta orang di 25 provinsi yang bergantung pada sampah plastik dan sampah daur ulang lain untuk mencari nafkah.
Sejauh ini, masih ada sembilan provinsi yang belum di data oleh IPI. Kemungkinan kalau ditambah sembilan provinsi lainnya, angka tersebut bisa bertambah menjadi lima juta orang.
Berdasarkan fakta tersebut, Ketua IPI Pris Poly Lengkong mengaku tidak setuju atas pelarangan kantong kresek yang telah diterapkan sejak 2007. Pris juga mengatakan tidak setuju apabila pemerintah ke depannya akan melarang penggunaan botol plastik.
"Kita imbau pemerintah tidak melarang tapi meningkatkan sirkulasi ekonomi daur ulang plastik," kata Pris saat dihubungi CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Sebagai gambaran bahwa sampah plastik memiliki nilai ekonomi, Pris mengatakan sampah plastik paling murah adalah plastik kresek yang dihargai Rp500 hingga Rp1000 per kilogram (kg). Harga tersebut adalah harga dari pemulung ke pengepul.
Sementara itu, botol plastik diklaim bisa berharga Rp4.000 hingga Rp5.000 per kg. Tak hanya badan botol, tutup botol juga disebut Pris memiliki nilai jual.
"Paling tinggi itu botol plastik, semua jenis botol plastik. Nilainya tinggi, botolnya, tutupnya juga," ujar Pris.
Pris mengatakan sampah plastik memang lebih bernilai dibandingkan sampah lainnya. Untuk sampah besi dihargai Rp1000 hingga Rp1500. Sedangkan untuk sampah kardus dihargai dengan Rp500 hingga Rp800. Sementara itu harga kertas berada di kisaran Rp500 hingga Rp1000, tergantung kondisi kertas.
Sependapat, Kepala Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran Institut Teknologi Bandung (ITB) Akhmad Zainal mengatakan botol plastik telah menggunakan jenis plastik PET (Polyethylene Terephthalate) yang 100 persen bisa didaur ulang.
Oleh karena itu, Akhmad mengatakan kebijakan itu keliru karena bisa menghilangkan potensi ekonomi yang sangat besar dari sampah plastik. Achmad mengatakan larangan bisa membunuh industri daur ulang, industri botol, menghilangkan lapangan kerja jutaan orang.
"Jadi bukan dengan melarang plastik dan tidak sekadar kumpulkan sampah di TPS lalu buang ke TPA. Tapi pemerintah bisa mengolah sampah," kata Akhmad.
Achmad mengatakan dampak ekonomi daur ulang atau ekonomi sirkular adalah meningkatkan pendapatan masyarakat melalui daur ulang sampah. PET bisa didaur ulang hingga 50 kali yang bisa menghemat bahan baku produksi.
Secara definisi, ekonomi sirkular adalah membuat siklus pakai plastik tidak berakhir di tempat pembuangan sampah dengan cara memanfaatkan kembali plastik sebagai bahan daur ulang.
"Saat ini jumlah pemulung di Indonesia sekitar 5 juta orang, pengepul sekitar 1 juta orang, dan industri daur ulang sebanyak 1.500, dengan tenaga kerja yang terserap di bagian formal sebanyak 4 juta," kata Akhmad.
Akhmad mencontohkan pemulung bisa menjual botol plastik seharga Rp4.500 per Kg. Pengepul kemudian bisa menjual badan botol yang sudah diolah dengan harga Rp8.000 dan tutup botol dengan harga Rp4.000.
"Kemudian pengepul bisa menjual ke industri pelet dengan harga badan botol RP10 ribu per kg dan tutup botol dengan harga Rp6.000 per Kg," kata Akhmad.
Akhmad memiliki program Manajemen Sampah Zero (Masaro) yang diklaim mampu menyulap sampah menjadi uang. Program ini pada intinya membutuhkan pemilihan sampah yang baik di sumber sampah.
[Gambas:Video CNN]
Hasil daur ulang sampah dari program Masaro di Jakarta bisa menghasilkan Rp1,75 triliun per hari. Dengan tambahan minus iuran sampah masyarakat.
Melalui Masaro, DKI Jakarta bisa mengolah sampah membusuk menjadi pupuk organik cair, konsentrat pakan organik cair, dan media tanam dalam polybag.
Dalam sehari, DKI Jakarta menghasilkan 7.500 ton atau 7,5 juta Kilogram (kg) per hari. Sebanyak 50 persen atau 3,75 juta Kg merupakan merupakan sampah yang mudah membusuk.
Akhmad mengatakan 1 Kg sampah bisa menghasilkan 10 liter pupuk organik cair atau konsentrat pakan organik cair. 10 liter bisa dijual Rp500 ribu.
"Jadi tinggal dikalikan saja 3,75 juta kg dikali Rp500 ribu. Tapi memang harga per 10 liter masih bisa diturunkan," ujar Akhmad.
Berdasarkan hasil survei Akhmad, hasil daur ulang pelet PET dari badan botol seharga Rp4500 bisa diolah menjadi kain sintetis, bantal, wadah makanan, botol minuman dan karpet yang bisa hingga Rp80 ribu per kg.
Tutup botol berjenis plastik HDPE dari harga Rp2800 bisa dikelola menjadi kantong kresek, tempat sampah, hingga gayung yang bisa dihargai hingga Rp70 ribu per kg.
"Selain itu juga mengurangi biaya bahan baku produksi botol PET, karena harga biji plastik PET daur ulang sebesar Rp 10 ribu per kg, lebih murah daripada harga virgin PET Rp14 ribu per kg," kata Akhmad.
Harga biji plastik yang lebih murah juga akan membantu pengusaha dari segi pembiayaan produksi. Akhmad juga memprediksi bisa saja harga air mineral menurun apabila harga produksi botol menurun.
Kemudian, Akhmad juga mengatakan label botol berjenis LDPE dengan harga Rp 600 per kg juga bisa dijadikan BBM melalui proses pirolisis dengan harga Rp5.500 per liter.
"Kalau daur ulang 100 persen ini dilakukan maka akan mencegah dan mengatasi pencemaran lingkungan. Kalau reuse, recycle , dan recovery (3R) ini dilakukan, maka tidak ada material plastik tersisa yang akan mengotori air, tanah, dan lingkungan lainnya," katanya.
Oleh karena itu, hal yang seharusnya menjadi fokus pemerintah bagaimana proses daur ulang bisa lebih mudah dilakukan.
Akhmad menjelaskan, perlu perbaikan manajemen sampah agar 100 persen botol PET dapat Zero Waste dengan 3R yang mencakup pemilihan dari sumber dan pengumpulan serta pengangkutan secara terpilah
"Jadi seharusnya pemerintah tidak mengeluarkan aturan tidak boleh pakai botol minum plastik. karena itu akan mematikan ekonomi, lebih baik anjurkan proses daur ulang sampah 3R," ujarnya.
Akhmad menjelaskan manajemen sampah yang selama ini menggunakan pola kumpul-angkut-buang harus diubah sesuai UU Pengelolaan Sampah no. 18 tahun 2008 dan Perpres No. 97 Tahun 2017 tentang
"Sampah menjadi masalah karena polanya kumpul-angkut-buang ini sampah jadi menumpuk. Harus diubah menjadi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir," kata Akhmad.
Akhmad mengatakan proses kumpul-angkut-buang sampah adalah cara kuno yang justru menghabiskan biaya (cost center).
Oleh karena itu, ia berharap masyarakat Indonesia bisa merubah paradigma untuk memilah sampah agar bisa menjadi aset.
"Itu cara kuno. Paradigma baru adalah pilah, kumpulkan, proses jadi barang bernilai tambah, lalu jual. Ini namanya profit center," kata dia.
Di sisi lain, KLHK keberatan apabila pelarangan plastik dihapuskan. Sebab, pelarangan yang dilakukan pemerintah diarahkan untuk kantong dan alat makan plastik sekali pakai yang tidak bernilai ekonomis tinggi bagi para pemulung.
KLHK mengatakan industri daur ulang tidak memberi harga tinggi untuk plastik-plastik tersebut. Kemasan plastik sekali pakai ini diantaranya adalah sedotan, kantong plastik, styrofoam, dan berbagai kemasan sekali pakai lainnya.
"Arahan dari pemerintah adalah penghapusan kantong kresek dan alat makan plastik. Sebab, sebagian besar masyarakat sekali pakai buang. Sehingga beban lingkungannya jadi berat," kata Kepala Seksi Daur Ulang Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah KLHK, Tyasning Permanasari.
KLHK memprediksi akan ada timbunan sampah sebesar 71,3 juta ton pada 2025 di Indonesia.
Dari timbunan sampah yang terdiri dari plastik, makanan dan lainnya tersebut, pemerintah menargetkan pengurangan sampah sebesar 30 persen atau 20,9 ton dan penanganan sampah sebesar 70 persen atau 49.9 juta ton.
"Itu 69 persen itu ada di timbunan sampah. Sedangkan di bank sampah juga cuma 4 persen," kata Tyas
Target Pengurangan dan Penanganan Sampah Nasional ini tertuang dalam Peraturan Presiden No.97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. (lav)
CNN Indonesia
November 27, 2019 at 03:28PM
https://ift.tt/2DiVkzl
Sampah Plastik, Dilema Krisis Lingkungan atau Cuan Ekonomi
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Sampah Plastik, Dilema Krisis Lingkungan atau Cuan Ekonomi"
Post a Comment